Senin, 17 Oktober 2011

Rebell dimata pemberontak

Pemberontak, rebel… What’s came up in your head when you hear this word?? Melawan orang tua? Drugs? Mabuk lalu menghajar orang? or mengganti dress-code mu mengikuti gaya band-band yang over-played di MTV?


            Well, no matter what you do, esensi pemberontakan tidak akan pernah berubah. A real rebellion stays under your skin. Bukan dari dandanan, machoism, tattoos, piercing or anorexic-look yang dibuat-buat. There’s two kinds of rebel. Once you’re a real rebel, kamu akan selalu jadi a rebel for most of your lifetime, tak akan bisa berubah ‘coz that’s who you are. It’s in your blood. Kamu akan selalu berpikir untuk melawan kecenderungan-kecenderungan yang ada, kapan saja dan dimana saja. But when you’re a wannabe-rebel (pemberontak tanpa misi dan prinsip yang jelas), kamu hanya akan memandang sebuah pemberontakan dari sisi luarnya aja dan a wannabe-rebel tidak akan pernah membuat sejarah atau melahirkan pemikiran baru yang lebih baik untuk generasinya (atau bahkan berikutnya).

            Kita orang timur emang seringkali bingung mengadaptasi culture barat yang sedemikian liberalnya, dimana disini masyarakat kita diikat oleh tatanan atau norma yang kadang gak penting dan berlebihan. Masyarakat kita mencintai keseragaman dan kurang menghargai sosok-sosok idealis or individualis. Menjadi seorang rebel memang susah untuk hidup di Indonesia, for real, tapi disanalah letak art of the rebellion-nya. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan karena masyarakat kita masih cenderung melihat sisi negatif dari seorang rebel (di cap sok kebarat-baratan… blablabla…). Padahal menjadi rebel bukanlah hal yang 100% salah. Tergantung apa yang kamu lawan. Misalnya, kamu benci melihat sinetron-sinetron Indonesia yang mewah, dangkal dan mudah ditebak, lalu kamu bikin sebuah film dokumenter tentang gimana sinetron-sinetron tersebut membodohi masyarakat kita yang mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Itu sebuah pemberontakan yang pintar. Sebuah counter terhadap komersialitas dan penyeragaman yang berlebihan.

            A real rebel selalu berada diluar kecenderungan masyarakat, dan itu bukanlah pilihan yang salah, selama kamu bisa bertahan dan mempertanggung jawabkan misi dari pemberontakkanmu. Harus diingat, kecenderungan di masyarakat atau di scene tidak selalu benar dan baik buat kita. Contohnya ketika trend emo menyerang, remaja kota-kota besar beramai-ramai bikin band emo dadakan, alasannya biar cool dan diterima di pergaulan kota besar yang makin konsumtif. Hanya sebagian kecil dari remaja-remaja kita yang serius menyimak dan mengerti lirik band-band emo. Ironis. Padahal diasalnya, band-band tersebut terbentuk karena mereka sering tersisih dalam pergaulan, dan musik yang mereka tulis adalah penegas kalau mereka adalah orang-orang yang berada diluar kecenderungan/pergaulan. Disini, oleh sebagian besar remaja malah dipakai senjata utk kelihatan ‘up to date’ dan ‘gaul’ -damn, I hate that word!!-. Same thing happens to punkrock and ska and maybe rockabilly in the future…Misi pemberontakannya ditinggalkan, fashion-nya di obral habis-habisan. Dan menurut saya itu sama sekali bukan pemberontakan.

            Kalau saya umpamakan pemberontakan adalah struktur sebuah lagu/band, jadinya begini: pakaian yang dikenakan oleh personel band, jenis suara gitar, drum dan suara teriakan/nyanyian vokal adalah media penyampai pemberontakan, sedangkan isi dari pemberontakan itu sendiri ada pada lirik . Karena lirik berasal dari pemikiran yang paling dalam, ada pesan yang ingin disampaikan. Banyak orang yang bisa bermain skillful, tempo drum hebat, tehnik vokal diatas angin dan bergaya seperti rockstar kebanyakan groupies yang mempunyai masalah kejiwaan (yea right…) tapi jarang banget ada band Indonesia, apalagi yang terkenal, punya lirik berontak yang sekaligus pintar. Ujung-ujungnya paling keras bisanya menghujat pemerintah tanpa ngasih solusi yang jelas, kuli bangunan ato tukang beca sekalipun bisa melakukan itu sambil menghisap rokok kreteknya. Jadi, ya… percuma saja kalo ada band yang merasa sudah pemberontak hanya karena memakai kaos gambar tengkorak, tattoo or mohawk, distorsi maksimum dengan beat drum yang berat, tapi liriknya masih standar khas Indonesia (lirik cinta yang deet-dangkal-dan di klip harus ada model cantik dan ganteng lagi berantem). Seorang rebel akan menemui kesulitan men-support band-band seperti itu. Lagipula, kenapa harus nyerah ama standar-standar yang dibikin ama generasi sebelum kita, apa kita tidak punya hak untuk punya taste terhadap standar yang berbeda?

            Sekarang try to think, kecenderungan apa aja yang ada di masyarakat kita yang kamu rasa mengganggu tidurmu. Ignorance is the real enemy. Kamu benci melihat budaya kekerasan yang semakin populer di masyarakat, lawan itu semua dan jangan ikut menjadi seperti mereka. Kamu kesal setiap kali ngeliat masyarakat dengan santainya membuang sampah plastik sembarangan, jadilah seorang pro-environment dan pengaruhi orang-orang disekitarmu. Kamu gak tega melihat hewan2 dibunuh untuk dimakan, jadilah seorang vegetarian dan daftarkan dirimu di peta2.com. Kamu bosan ngeliat budaya modern nan konsumtif anak muda yang manja dan kadang berlebihan, jadilah seorang berandal pasar barang bekas dan kenakan pakaian bekasmu dengan bangga dan stylish. Kamu menyesal membeli majalah yang dipenuhi wajah-wajah infotainment ga penting, bikin dan cetaklah wajahmu sendiri. Bosan ama design kaos-kaos distro yang makin seragam dan cheesy, bikin clothing-line mu sendiri. Akan lebih baik jika kamu melakukan itu semua tanpa menjadi seorang fasis yang kaku. Just do your own think.

            See..banyak hal2 berontak yang bisa kamu lakukan di Indonesia tanpa harus merugikan orang lain dan malah bisa menguntungkan jika kamu bisa me-manage ‘kenakalanmu’
Jadilah seorang counter-culture with a big heart, yang bertanggung jawab, respect terhadap keluarga, lingkungan dan bumi pertiwi.

(Jangan sampai terjebak menjadi seorang rebel bodoh yang hanya mengejar status social).

            saya tidak melihat suatu perbedaan yang benar-benar signifikan. Diluar tata panggung dan kualitas tata suara pertunjukan yang tentu saja beda dengan level mainstream, masih saja ada band indie yang memiliki tendensi memiliki attitude band mainstream. Mereka hanya ingin mengambil sesuatu darimu. Perhatikan saya, teriak untuk saya, tiru gaya saya, beli clothing saya dan jadikanlah saya socialite yang kaya dan terkenal. It’s all about them. Mereka menempatkan musik sebagai media untuk mengambil, bukannya memberi. Susah saya temui band yang berjiwa besar dan willing to give the audience their positive point of view: sesuatu yang akan dipikirkan oleh remaja kita ketika mereka pulang sehabis nonton konser dan sebelum mereka tertidur kelelahan. Rockstar-wannabe, that’s what I call them. How do you recognize them? You don’t, coz mereka terlihat sama dengan kita. Tapi kamu akan tahu setelah kamu ngobrol barang 2-3 menit dengan mereka or setelah kamu menonton their live show.

            Biasanya musically and fashionably ok, tapi lirik kacangan. The weird thing is , media dan industri ustru menyukai band-band seperti itu. Lebih menjual, katanya. If that’s how the indie-scene gonna stand for, saya kira the scene won’t go any further. Mundur malahan. Perpecahan. Nantinya akan ada kecemburuan di hati band-band yang tidak tersentuh media karena dianggap kurang menjual, not good looking enough or karena mereka kurang mengikuti fashion musik terbaru whatsoever. Sedihnya di Bali banyak band yang masuk kategori ‘kurang menjual’ namun punya follower setia coz they have musikalitas dan lirik yang kuat.
Mau dikemanakan mereka??

            Ada beberapa band yang belum apa-apa sudah menuntut ini itu, bergaya bak rockstar kesiangan. Contohnya, ketika ada acara seringkali menolak untuk main pertama. Sengaja datang telat. Alasannya, biar yang nonton rame. Belum apa-apa sudah memikirkan popularitas diatas segalanya. Mentalitas seperti itu saya sebut mentalitas mainstream. Padahal kalo band itu emang bagus, orang pasti akan nonton dan if you’re a musician, you shouldn’t think too much about that kinda stuff. Deal with it. Just grab your instrument, rock the house and have fun!
Great bands like The Hydrant, The Dissland [Bali] and Shaggy Dog [Jogja], Seringai [Jkt] adalah beberapa contoh band yang willing to give to the audience, diatas panggung mereka bener-bener enjoy themself, ga mau tau penontonnya rame atau nggak. Kita yang nonton bisa ikut merasakan positive vibe yang mereka sebarkan. Dan saya tahu pasti mereka bukan tipe band yang banyak nuntut. They give.

            Setiap band juga seharusnya punya ‘something to say’. Ada point-point berharga. Ga sekedar main lalu cabut. We gotta realize that we’re living in a 3rd world country. Negara ketiga, yang punya banyak bgt masalah yang sangat kompleks. Mulai dari isu2 sosial, lingkungan, pendidikan, agama, politik, kekerasan, premanisme dll. Dan sudah seharusnya kita, as the youth of counter-culture peduli akan hal-hal tsb, cos -as we all know- Indonesian mainstream bands wouldn’t do that kinda stuff. They’re too busy gold-digging dan mencari aman. Dan kalau kita benar peduli dgn Indonesia, why don’t we try to do something about it. I mean Do Something. Gak sekedar ngoceh “peace, peace, kita anti kekerasan…” diatas panggung tapi supporter/fans kalian selalu bikin rusuh dan merusak. Budaya kampungan seperti itu benar-benar bikin saya muak.

            Jika makin banyak band memiliki point cerdas yang mereka sampaikan saat manggung atau mereka terapkan dalam daily life mereka, otomatis itu juga akan ikut mencerdaskan lingkungan kita. Karena jika terus-menerus dikemukakan, at least orang akan jadi aware dan sedikit lebih concern thd masalah negara kita. Dan itu merupakan progress yang akan berarti di kemudian hari.
Kita harus buktikan kepada masyarakat kalau scene kita bukan sekedar tempat bermain para berandal dan alkoholik saja. Ayo sama-sama kita tampar wajah sombong mainstream dengan bukti konkret kalau cara hidup kita ‘ternyata’ tidak lebih bodoh’ dari mereka. Lakukan sesuatu yang positif dan menyentuh kehidupan orang banyak. Lihat disekililingmu dan lakukan yang kamu bisa untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.

            Respect gak akan datang cuma dengan kolaborasi dengan si Raja Dangdut, You know?!. Kamu gak akan kelihatan hebat dengan cara memiliki ribuan penggemar yang kampungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar