Rabu, 19 Oktober 2011

Interview JRX at Tribun Jogja (Superman Is Dead)

Menguak Tabir

Judul     : Bapak Pluralisme Indonesia
Text Line : Perbedaan Itu Indah

Gus Dur, Pertama kali mendengar nama itu, yang terbayang dalam benak saya adalah sosok tokoh yang mampu hidup di mana saja. Gus Dur adalah seorang yang telah mengalami berbagai macam pengalaman hidup yang jarang dialami oleh manusia lain di muka bumi ini. Dari berbagai macam pengalaman hidup itulah Gus Dur terbentuk sebagai sosok yang bisa memahami berbagai macam perbedaan. Inilah alasan mengapa beliau menjadi sangat pluralis. Gus Dur lahir dari Keluarga Besar Nahdhatul Ulama (NU) yang terkenal sebagai Islam Tradisionalis. NU adalah organisasi yang didirikan oleh kakeknya Hasyim Asy'ari.
Meskipun demikian Gus Dur tidak hanya hidup di kalangan orang-orang Islam Tradisionalis saja, namun sejak kecil sudah banyak menemui berbagai manusia dari banyak golongan. Ayahnya Wahid Hasyim adalah seorang tokoh nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama di Republik Indonesia ini. Ayahnya sering sekali menerima tamu dari berbagai agama di Indonesia, bahkan sebagai tokoh nasional Wahid Hasyim juga acapkali bertemu dengan tokoh-tokoh penting dunia yang juga bermacam-macam karakter.
Pengalaman hidup di Ibukota Jakarta yang majemuk juga mempengaruhi pola pikir beliau, di tambah lagi dengan pengalaman kehidupan di kota Jombang yang sangat tradisionalis, mengawali pembentukan karakter berfikir Gus Dur. Setelah dewasa Gus Dur juga merasakan alam kota Kairo, juga menariknya perhatian kota Baghdad di Irak sangat membantu sosok Gus Dur untuk menjadi pluralis.

Senin, 17 Oktober 2011

Musik Oi! tidak memandang perbedaan ras, warna, dan kepercayaan

Oi! berarti hello dalam aksen cockney di Inggris. Oi! musik bermula di akhir 70-an setelah kemunculan Punk Rock. Ketika gelombang pertama punk menyerang, band seperti Sham69, The Business, dan Cock Sparrer sudah bernyanyi tentang hidup di jalanan di saat Sex Pistols mencoba memulai "Anarchy In the Uk". Lalu reality punk atau street punk dimulai dengan Sham 69 dan Sparrer, seperti juga Slaughter and The Dogs juga Menace.

Oi! adalah musik untuk semua dan semua orang yang berjalan di jalanan kota dan melihat rendah pada kaum elit dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang bekerja sepanjang hari sebagai budak gaji dapat dihubungkan dengan Oi!. Semua orang yang selalu merasa berbeda, juga dapat dihubungkan dengan Oi!. Musik Oi! tidak memandang perbedaan ras, warna, dan kepercayaan. "Oi! music is about having a laugh and having a say, plain and simple...."Daftar isi [sembunyikan]

Ketika era 80-an menyerang dan punk rock mendapatkan nafas baru, Oi! menjadi bagian yang solid dari pergerakan itu, yang diperkenalkan oleh Garry Bushell, penulis di Sounds, koran musik di Inggris. Garry percaya bahwa punk rock adalah musik protes dan mengumpulkan semua band street punk di bawah bendera Oi! seperti The Business, The 4-skins, The Burial, Combat 84, Infariot, dan Last Resort menyerbu Punk Scene dengan jenis realita mereka. Seperti motto Last Resort, "No Mess, No Fuse, just Pure Impact!"

Musik Oi! mulai meredup di akhir 80-an. Dan di Amerika, hardcore adalah musik yang didengar oleh Skinhead. Dapat dikatakan bahwa musik Oi! bukan hanya musiknya Skinhead.
           
Pertama orang mendengar Oi! pasti identik dengan Skinhead, sementara skinhead identik dengan rasisme. Jadi kesalahpahaman yang muncul, Oi! adalah musik rasis. Budaya ini mulai dengan masuknya imigran Jamaika ke Inggris. Cara berpakaian skinhead diadopsi dari Rude boys (ingat Ska) dan Mods, tapi dengan tampilan yang lebih Tough dan Rough. Skinhead yang sebenarnya tidak rasis, akan tetapi imej skinhead disalahgunakan oleh kaum kanan Neo-Nazi untuk menciptakan karakter yang keras. tetapi sesungguhnya bahwa skinhead bukanlah seorang yang rasis,dan perlu di ketahui bahwa image skinhead yang sesungguhnya memanglah keras bukan berarti rasisme.
[sunting]
Lirik

Lirik-lirik dalam Oi! cenderung bercerita tentang anti-rasis/fasis, hidup sebagai skinhead, protes, sepak bola, bir, dan sedikit kekerasan! jangan lupa beberapa lagu Cock Sparrer bercerita tentang CINTA. silakan cek. Pendengar musik ini selain Skinhead juga ada Punks, Rude boys, Mods, dan Herberts. Yang dimaksud dengan Herberts adalah orang-orang yang suka dengan Oi! tapi bukan skinhead atau punks. Mereka hanya orang-orang biasa yang cinta dengan Oi!.

Di Bandung sendiri, Oi! dimulai pertengahan 90-an diawali dengan Runtah. Ketika terjadi booming Ska di Indonesia, bermunculan banyak Skinhead, entah mereka hanya poseurs, trendy wankers ataupun a true SKINHEAD itselfs. Seiring dengan "mati"-nya tren ska karena dihantam secara dahsyat oleh major label, maka menghilang pulalah Skinhead. Tapi ingat, setiap hilangnya suatu tren bukan berarti hilang pula subkultur yang tercipta atau terbawa oleh trend tersebut. Walaupun sedikit, tapi Skinhead di Indonesia, di Bandung khususnya still going strong and getting bigger. Ada beberapa organisasi Skinhead di dunia yang masuk ke Indonesia. Antara lain adalah Red Anarchist Skinhead dan Skinhead Against Racial Prejudice. Bahkan Neo-Nazi Skinhead sendiri ada di negara kulit berwarna seperti Indonesia ini. Beberapa gelintir Skinhead Rasis ini terlihat di Bandung dan Jakarta. Di Yogyakarta para Skinhead umumnya sudah mengerti asal muasal Sub Kultur ini. Di Yogyakarta beberapa band skinhead memainkan ska selain Oi! dan Hardcore.

Sampai saat ini sudah banyak sekali band Oi! di Bandung, seperti Haircuts, Rentenir, Battle 98, The Real Enemy, Sanfranskins, One Voice, OppressionHead,Virgin Oi!,Wfc kids dan banyak lagi. Karena gelombang Skinhead Rasis yang mulai meresahkan maka beberapa skinhead non-rasis dan anti rasis dari beberapa band Oi! di bandung , membuat sebuah band bernama Combat 34 yang sangat anti rasis, nama band ini adalah ejekan untuk skinhead rasis di Jakarta yg menamakan diri COMBAT 18 Indonesia, lagu-lagu mereka bercerita tentang apa gunanya jadi rasis di Indonesia, ajakan berkelahi untuk para skinhead rasis, dan pastinya juga tentang sepak bola, perkelahian di jalan, dengan moto mereka "Sometimes Anti-Social but Always Anti-Racist". Band-band tadi sudah merilis beberapa kompilasi dan mini album di bawah naungan United Races Records. Skinhead di Bandung sering terlihat di workers store di gedung Miramar lantai dasar sebelah Palaguna. Sekarang Gd. Miramar ini sudah tidak ada, dan kita dapat menemui mereka di BS, SI, ANN, juga di P.I. (Pasar Induk: sebutan untuk Mal pertama di Bandung) yang berlokasi di belakang mal Bandung Indah Plaza.

Jangan lupakan kota pelajar, Yogyakarta, disini ada banyak band2 Oi!/streetpunk, mereka masing2 memiliki ciri yang berbeda antar bandnya, seperti Captain Oi!, Sardonic, Elang Bondol, Selokan Mataram, Bala Nusantara dan masih banyak lagi, selain banyak yang sudah bubar, beberapa band ini berada di bawah naungan Realino Records, Ruckson Music (milik salah satu personel Dom 65), Unite n Strong. skinhead di Yogyakarta dapat ditemui di daerah jalan Mataram. Ada beberapa album baik full ataupun kompilasi yang telah beredar.

Di Jakarta sendiri scene skinhead cukup berkembang dengan baik. Kita dapat menemui banyak skinhead di seputaran kota ini. Mulai dari Trad Skins, SHARP Skins, sampai yang Rasis pun ada. Band-band Oi! asal Jakarta antara lain adalah The End, Anti-Squad, Garuda Botak, the Gross, the Bretel, dan lainnya.

Begitu pula di Denpasar Bali, komunitas skinhead begitu berkembang pesat, ini dibuktikan dengan munculnya beberapa Band Oi! seperti misalnya The Resistance, Paku 5, Metro Mini, Bootbois, The Stomper, The BOiS dan masih banyak lagi. Saat ini komunitas skinhead di Denpasar berpusat pada sebuah tempat di daerah seputaran Jalan Imam Bonjol yaitu sebuah warnet yang oleh pemiliknya diberi nama SKINET yang mempunyai arti SKINHEAD NETWORK, disinilah para komunitas skinhead di Bali berkumpul.

Rebell dimata pemberontak

Pemberontak, rebel… What’s came up in your head when you hear this word?? Melawan orang tua? Drugs? Mabuk lalu menghajar orang? or mengganti dress-code mu mengikuti gaya band-band yang over-played di MTV?


            Well, no matter what you do, esensi pemberontakan tidak akan pernah berubah. A real rebellion stays under your skin. Bukan dari dandanan, machoism, tattoos, piercing or anorexic-look yang dibuat-buat. There’s two kinds of rebel. Once you’re a real rebel, kamu akan selalu jadi a rebel for most of your lifetime, tak akan bisa berubah ‘coz that’s who you are. It’s in your blood. Kamu akan selalu berpikir untuk melawan kecenderungan-kecenderungan yang ada, kapan saja dan dimana saja. But when you’re a wannabe-rebel (pemberontak tanpa misi dan prinsip yang jelas), kamu hanya akan memandang sebuah pemberontakan dari sisi luarnya aja dan a wannabe-rebel tidak akan pernah membuat sejarah atau melahirkan pemikiran baru yang lebih baik untuk generasinya (atau bahkan berikutnya).

            Kita orang timur emang seringkali bingung mengadaptasi culture barat yang sedemikian liberalnya, dimana disini masyarakat kita diikat oleh tatanan atau norma yang kadang gak penting dan berlebihan. Masyarakat kita mencintai keseragaman dan kurang menghargai sosok-sosok idealis or individualis. Menjadi seorang rebel memang susah untuk hidup di Indonesia, for real, tapi disanalah letak art of the rebellion-nya. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan karena masyarakat kita masih cenderung melihat sisi negatif dari seorang rebel (di cap sok kebarat-baratan… blablabla…). Padahal menjadi rebel bukanlah hal yang 100% salah. Tergantung apa yang kamu lawan. Misalnya, kamu benci melihat sinetron-sinetron Indonesia yang mewah, dangkal dan mudah ditebak, lalu kamu bikin sebuah film dokumenter tentang gimana sinetron-sinetron tersebut membodohi masyarakat kita yang mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Itu sebuah pemberontakan yang pintar. Sebuah counter terhadap komersialitas dan penyeragaman yang berlebihan.

            A real rebel selalu berada diluar kecenderungan masyarakat, dan itu bukanlah pilihan yang salah, selama kamu bisa bertahan dan mempertanggung jawabkan misi dari pemberontakkanmu. Harus diingat, kecenderungan di masyarakat atau di scene tidak selalu benar dan baik buat kita. Contohnya ketika trend emo menyerang, remaja kota-kota besar beramai-ramai bikin band emo dadakan, alasannya biar cool dan diterima di pergaulan kota besar yang makin konsumtif. Hanya sebagian kecil dari remaja-remaja kita yang serius menyimak dan mengerti lirik band-band emo. Ironis. Padahal diasalnya, band-band tersebut terbentuk karena mereka sering tersisih dalam pergaulan, dan musik yang mereka tulis adalah penegas kalau mereka adalah orang-orang yang berada diluar kecenderungan/pergaulan. Disini, oleh sebagian besar remaja malah dipakai senjata utk kelihatan ‘up to date’ dan ‘gaul’ -damn, I hate that word!!-. Same thing happens to punkrock and ska and maybe rockabilly in the future…Misi pemberontakannya ditinggalkan, fashion-nya di obral habis-habisan. Dan menurut saya itu sama sekali bukan pemberontakan.

            Kalau saya umpamakan pemberontakan adalah struktur sebuah lagu/band, jadinya begini: pakaian yang dikenakan oleh personel band, jenis suara gitar, drum dan suara teriakan/nyanyian vokal adalah media penyampai pemberontakan, sedangkan isi dari pemberontakan itu sendiri ada pada lirik . Karena lirik berasal dari pemikiran yang paling dalam, ada pesan yang ingin disampaikan. Banyak orang yang bisa bermain skillful, tempo drum hebat, tehnik vokal diatas angin dan bergaya seperti rockstar kebanyakan groupies yang mempunyai masalah kejiwaan (yea right…) tapi jarang banget ada band Indonesia, apalagi yang terkenal, punya lirik berontak yang sekaligus pintar. Ujung-ujungnya paling keras bisanya menghujat pemerintah tanpa ngasih solusi yang jelas, kuli bangunan ato tukang beca sekalipun bisa melakukan itu sambil menghisap rokok kreteknya. Jadi, ya… percuma saja kalo ada band yang merasa sudah pemberontak hanya karena memakai kaos gambar tengkorak, tattoo or mohawk, distorsi maksimum dengan beat drum yang berat, tapi liriknya masih standar khas Indonesia (lirik cinta yang deet-dangkal-dan di klip harus ada model cantik dan ganteng lagi berantem). Seorang rebel akan menemui kesulitan men-support band-band seperti itu. Lagipula, kenapa harus nyerah ama standar-standar yang dibikin ama generasi sebelum kita, apa kita tidak punya hak untuk punya taste terhadap standar yang berbeda?

            Sekarang try to think, kecenderungan apa aja yang ada di masyarakat kita yang kamu rasa mengganggu tidurmu. Ignorance is the real enemy. Kamu benci melihat budaya kekerasan yang semakin populer di masyarakat, lawan itu semua dan jangan ikut menjadi seperti mereka. Kamu kesal setiap kali ngeliat masyarakat dengan santainya membuang sampah plastik sembarangan, jadilah seorang pro-environment dan pengaruhi orang-orang disekitarmu. Kamu gak tega melihat hewan2 dibunuh untuk dimakan, jadilah seorang vegetarian dan daftarkan dirimu di peta2.com. Kamu bosan ngeliat budaya modern nan konsumtif anak muda yang manja dan kadang berlebihan, jadilah seorang berandal pasar barang bekas dan kenakan pakaian bekasmu dengan bangga dan stylish. Kamu menyesal membeli majalah yang dipenuhi wajah-wajah infotainment ga penting, bikin dan cetaklah wajahmu sendiri. Bosan ama design kaos-kaos distro yang makin seragam dan cheesy, bikin clothing-line mu sendiri. Akan lebih baik jika kamu melakukan itu semua tanpa menjadi seorang fasis yang kaku. Just do your own think.

            See..banyak hal2 berontak yang bisa kamu lakukan di Indonesia tanpa harus merugikan orang lain dan malah bisa menguntungkan jika kamu bisa me-manage ‘kenakalanmu’
Jadilah seorang counter-culture with a big heart, yang bertanggung jawab, respect terhadap keluarga, lingkungan dan bumi pertiwi.

(Jangan sampai terjebak menjadi seorang rebel bodoh yang hanya mengejar status social).

            saya tidak melihat suatu perbedaan yang benar-benar signifikan. Diluar tata panggung dan kualitas tata suara pertunjukan yang tentu saja beda dengan level mainstream, masih saja ada band indie yang memiliki tendensi memiliki attitude band mainstream. Mereka hanya ingin mengambil sesuatu darimu. Perhatikan saya, teriak untuk saya, tiru gaya saya, beli clothing saya dan jadikanlah saya socialite yang kaya dan terkenal. It’s all about them. Mereka menempatkan musik sebagai media untuk mengambil, bukannya memberi. Susah saya temui band yang berjiwa besar dan willing to give the audience their positive point of view: sesuatu yang akan dipikirkan oleh remaja kita ketika mereka pulang sehabis nonton konser dan sebelum mereka tertidur kelelahan. Rockstar-wannabe, that’s what I call them. How do you recognize them? You don’t, coz mereka terlihat sama dengan kita. Tapi kamu akan tahu setelah kamu ngobrol barang 2-3 menit dengan mereka or setelah kamu menonton their live show.

            Biasanya musically and fashionably ok, tapi lirik kacangan. The weird thing is , media dan industri ustru menyukai band-band seperti itu. Lebih menjual, katanya. If that’s how the indie-scene gonna stand for, saya kira the scene won’t go any further. Mundur malahan. Perpecahan. Nantinya akan ada kecemburuan di hati band-band yang tidak tersentuh media karena dianggap kurang menjual, not good looking enough or karena mereka kurang mengikuti fashion musik terbaru whatsoever. Sedihnya di Bali banyak band yang masuk kategori ‘kurang menjual’ namun punya follower setia coz they have musikalitas dan lirik yang kuat.
Mau dikemanakan mereka??

            Ada beberapa band yang belum apa-apa sudah menuntut ini itu, bergaya bak rockstar kesiangan. Contohnya, ketika ada acara seringkali menolak untuk main pertama. Sengaja datang telat. Alasannya, biar yang nonton rame. Belum apa-apa sudah memikirkan popularitas diatas segalanya. Mentalitas seperti itu saya sebut mentalitas mainstream. Padahal kalo band itu emang bagus, orang pasti akan nonton dan if you’re a musician, you shouldn’t think too much about that kinda stuff. Deal with it. Just grab your instrument, rock the house and have fun!
Great bands like The Hydrant, The Dissland [Bali] and Shaggy Dog [Jogja], Seringai [Jkt] adalah beberapa contoh band yang willing to give to the audience, diatas panggung mereka bener-bener enjoy themself, ga mau tau penontonnya rame atau nggak. Kita yang nonton bisa ikut merasakan positive vibe yang mereka sebarkan. Dan saya tahu pasti mereka bukan tipe band yang banyak nuntut. They give.

            Setiap band juga seharusnya punya ‘something to say’. Ada point-point berharga. Ga sekedar main lalu cabut. We gotta realize that we’re living in a 3rd world country. Negara ketiga, yang punya banyak bgt masalah yang sangat kompleks. Mulai dari isu2 sosial, lingkungan, pendidikan, agama, politik, kekerasan, premanisme dll. Dan sudah seharusnya kita, as the youth of counter-culture peduli akan hal-hal tsb, cos -as we all know- Indonesian mainstream bands wouldn’t do that kinda stuff. They’re too busy gold-digging dan mencari aman. Dan kalau kita benar peduli dgn Indonesia, why don’t we try to do something about it. I mean Do Something. Gak sekedar ngoceh “peace, peace, kita anti kekerasan…” diatas panggung tapi supporter/fans kalian selalu bikin rusuh dan merusak. Budaya kampungan seperti itu benar-benar bikin saya muak.

            Jika makin banyak band memiliki point cerdas yang mereka sampaikan saat manggung atau mereka terapkan dalam daily life mereka, otomatis itu juga akan ikut mencerdaskan lingkungan kita. Karena jika terus-menerus dikemukakan, at least orang akan jadi aware dan sedikit lebih concern thd masalah negara kita. Dan itu merupakan progress yang akan berarti di kemudian hari.
Kita harus buktikan kepada masyarakat kalau scene kita bukan sekedar tempat bermain para berandal dan alkoholik saja. Ayo sama-sama kita tampar wajah sombong mainstream dengan bukti konkret kalau cara hidup kita ‘ternyata’ tidak lebih bodoh’ dari mereka. Lakukan sesuatu yang positif dan menyentuh kehidupan orang banyak. Lihat disekililingmu dan lakukan yang kamu bisa untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.

            Respect gak akan datang cuma dengan kolaborasi dengan si Raja Dangdut, You know?!. Kamu gak akan kelihatan hebat dengan cara memiliki ribuan penggemar yang kampungan.

Minggu, 16 Oktober 2011

"Fanatisme" yang ditulis JRX_SID

Terkait dengan bunyi status FB SID yang
berbunyi "Tolong hentikan cara2 berpikir
model sinetron yg penuh drama dan konflik
nan tak penting. SID bukan tim sepak bola.
Fanatisme berlebihan akan membunuh kalian
semua. Wake up!" Tak disangka SID mendapat beberapa respon menarik yang menganggap kami menyudutkan sepakbola Indonesia dan supporter-nya.
Inilah yang terjadi jika imajinasi dan daya nalar
tidak digunakan dalam mengartikan sebuah
expresi. Kami mengerti sikap fanatik itu perlu dalam menunjukkan loyalitas. Dan SID akan menghargai sikap fanatik dlm bentuk apapun [bola, musik, agama dll] asal sikap fanatik tsb tidak sampai memakan korban jiwa dan menimbulkan permusuhan antar manusia di Indonesia.

Namun apakah yg kerap terjadi di Indonesia? Semua merasa tim-nya, ras-nya, agamanya atau band idolanya paling hebat lalu dengan bangga memusuhi orang2 yang berbeda dengannya. Itu kenyataan di lapangan dan itulah yang ingin kami pertanyakan.
Perlu diingat. Konteks SID ketika berkata 'fanatisme yg berlebihan akan membunuhmu' itu dalam kerangka yg luas, bukan cuma dalam konteks supporter bola namun lebih kepada semua unsur sikap fanatisme terhadap sesuatu.

Kerusuhan2 dlm konser musik/pertandingan bola maupun kerusuhan2 yang berbau SARA semua berawal dari rasa kebersamaan/loyalitas sebuah kelompok yg berlebihan dan ujung2nya memakan korban jiwa. Bagi kami itu pola pikir yang sangat bodoh dan terbelakang. TIDAK ada manusia yang layak mati sia-sia hanya karena perbedaan selera musik/bola/agama. Kami berkata 'SID bukan tim sepak bola' sebagai kiasan karena akhir2 ini kami melihat sikap fanatik fans SID [Outsiders] hampir berlebihan dan mendekati fanatisme supporter bola.
Terus terang kami tidak nyaman dgn situasi ini. Tujuan kami membuat band bukan untuk dipuja-puja dgn perasaan fanatik berlebihan. Kita percaya semua manusia itu sama dimata Tuhan, terlepas dari apa itu suku, agama, ras, musik atau tim sepakbola favoritnya. Mungkin bagi anda yang kurang bisa menangkap maksud kami, intinya adalah: cukup sudah warga Indonesia saling mangsa hanya karena perbedaan2 kecil yg seharusnya tidak menjadi masalah tsb. Bersatu. Boleh fanatik tapi saling menghargai dan berjiwa besar. Sportif.
Cheers,
Jrx

Wawancara JRX dengan Akarumput.com

Wawancara: @JRX_SID

oleh Alfred Pasifico — Oct 4, 2011

Ari Astina atau Jerinx (JRX) bicara tentang kegelisahannya pada kondisi lingkungan Bali, kritiknya pada ritual adat yang kehilangan esensi pemeliharaan ekologi, dan kenangan masa kecilnya di Kuta yang dulu masih indah.


Pada 20 Agustus 2011, akun twitter @JRX_SID yang memiliki sekitar 118.600 follower menulis: “To all Balinese: Apa gunanya rajin sembahyang & percaya konsep Tri Hita Karana jika diam saja melihat Bali pelan-pelan dirusak? Hipokrit?”

Tidak sekali itu drummer Superman Is Dead dan vokalis Devildice ini menulis kritiknya tentang eksploitasi alam di Bali yang kian buruk akhir-akhir ini. Dia juga rajin mengkritik rencana proyek Bali International Park (BIP) di kawasan Bukit, Jimbaran. Proyek di atas lahan telantar seluas 200 hektare ini dimaksudkan sebagai fasilitas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) tahun 2013.
Bupati Badung belum menurunkan izin untuk mega proyek yang harusnya mulai berjalan bulan Oktober ini. Sudah ada surat Keputusan Presiden (Keppres) untuk memuluskan proyek ini dan pemerintah pusat yang diwakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik (yang orang Bali) mendesak proyek ini tetap akan berjalan. Menurut Wacik, Bali masih kekurangan sarana konferensi tingkat internasional. Padahal Nusa Dua sudah punya fasilitas dan berpengalaman sebagai tuan rumah seperti KTT Perubahan Iklim tahun 2007.
JRX juga menulis perkara lingkungan dalam konteks yang lebih kecil. Misalnya tentang program “Recycle Before Dishonor” dari usahanya Rumble Cloth dan Rumble Shop. Toko Rumble di Ubud akan tidak menyediakan kantong plastik untuk mendukung upaya menekan masalah sampah plastik yang pelik di Bali.
Selama satu jam, JRX bicara dengan Alfred Ginting di rumahnya di kawasan Sanur. Petang itu JRX di cukup santai di tengah kesibukannya pengambilan gambar untuk film “Description Without Place” yang disutradarai Richard Oh. Dalam film itu JRX berperan sebagai pemuda Bali, sopir untuk Happy Salma, pengusaha dari Jakarta yang ingin membuka pabrik air mineral di Bali.

“Saya menerima tawaran peran itu karena suka ceritanya, cerita yang aneh. Dan peran saya tidak menuntut saya jauh dari karakter saya yang sebenarnya. Juga ada pesan ekologisnya,” kata JRX. Berikut petikan wawancaranya:


Apa yang melatarbelakangi Rumble untuk membuat program tidak menyediakan kemasan plastik?


Tema pengurangan tas plastik sudah lama disuarakan SID dan Devidice, jadi supaya ada sinkronisasi antara perkataan dengan tindakan saja sebenarnya. Kami mencoba dari dulu mengangkat tema seperti ini, sebagai bentuk tindakannya. Karena kunci dasar perubahan ekologi itu berawal dari diri sendiri. Kalau kita tidak mulai dari diri sendiri tidak mungkin mengajak orang lain mengikuti kita. Kenapa Rumble Shop di Ubud dan brand Rumble, selain mengangkat tema-tema cutting edge, ingin ada tema edukasinya meski tidak secara langsung. Rumble desainnya untuk anak muda, mudah-mudahan pesan ini sampai ke mereka. Nanti di pintu masuk toko akan dicantumkan pesan untuk membawa kantongan sendiri dari rumah karena tidak tersedia tas plastik, atau membeli tas kain atau tote bag yang disediakan.
Rumble Shop itu pembelinya rata-rata remaja, mungkin dengan cara-cara seperti itu pesannya mudah sampai, daripada mereka diberi penyuluhan. Karena remaja kan otaknya masih bersenang-senang. Kalau dikasih dengan cara-cara yang santai seperti ini lebih enak, meski ada sedikit paksaan. Dari Rumble kita memang harus spend more money menambah modal, tapi we’ll do it. Karena Rumble identik dengan SID dan saya. Jadi pemberontakan jalan, edukasi juga tetap ada.


Kenapa akhir-akhir ini semakin sering bicara tentang ekologi di twitter?


Banyak hal, mungkin salah satu faktor karena saya mulai pindah ke Sanur. Jadi bisa sering ketemu kawan-kawan lama, aktivis seperti Gendo (aktivis Walhi Wayan Gendo Suardana). Waktu saya masih tinggal di Kuta, jarang ketemu karena kehidupan di sana sangat berbeda. Dan kemarin sangat sibuk dengan dua band, rekaman, promo, SID juga sedang siapkan album yang akan rilis tahun ini. Namanya manusia, kekuatan pikiran susah dibagi. Kalau fokus pada satu hal, itu terus dikerjakan, kecuali butuh trigger baru lagi. Sejak pindah ke Sanur ini ketemu teman-teman diskusi dulu di zaman kuliah. Gendo bilang tentang kasus BIP (Bali International Park). Ini salah satu trigger.
Setelah ngobrol berjam-jam dengan dia mulai terbuka lagi cakrawala baru tentang betapa rapuhnya Bali ini. Dan kebijakan-kebijakan yang ada sekarang ini sebagian besar dikontrol oleh pertimbangan ekonomi daripada pertimbangan ekologi. Bali ini sangat kecil, jika nanti 10 atau 20 tahun lagi seperti yang diprediksi terjadi krisis air, kemacetan yang luar biasa, apa bedanya Bali dengan daerah lain? Apalagi sesuatu yang spesial yang kita banggakan dari Bali?
Jadi semuanya karena hal simpel seperti itu. Bukan karena kecintaan pada daerah yang membabi buta atau berlebihan. Rasional saja. Orang Bali secara mainstream percaya pada karma, alam, berserah, rajin sembahyang, tapi tindakan yang nyata untuk memertahankan mimpi mereka agar Bali tetap asri tidak ada. Cuma berdoa agar Bali tetap damai, tetap aman. Tindakan nyata masih jarang. Ini yang perlu diangkat lagi, agar anak muda tergerak. Karena anak muda yang mendengarkan saya adalah yang cutting edge, yang punya pemikiran tidak terlalu terikat dengan adat. Jadi keterikatan pada adat ini yang kadang-kadang bisa menyinggung mereka untk melawan.


Secara kreatif, apakah warna ekologi akan kental di SID atau Devildice?


Secara berkesenian kalau Devildice jarang menyentuh tema-tema seperti ini. Devildice kan semacam proyek alter ego, dimana saya ingin lepas dari masalah-masalah dunia, ini dunia sendiri. Di SID akan selalu ada isu-isu yang kita anggap penting, krusial untuk dibicarakan. Dan masalah ekologi di album baru SID nantinya akan ada, kerangka dasar lirik sudah ada, sasarannya kemana dan apa yang akan diserang. Dari ngobrol-ngobrol lagi dengan aktivis, referensinya makin kuat.


Dengan menggerakkan anak muda, apakah ini jadi kesadaran yang akan membesar?

Saya pikir iya, kalau cara penyampaiannya berkelanjutan dan tujuannya jelas. Dan anak muda itu harus diberi contoh, efek negatif sudah ada. Bali sudah tidak sama lagi, kalau tidak bertindak sekarang akan terlambat. Kalau soal penerimaan mereka apakah akan dilakukan di kehidupan sehari-hari, ya memang tidak bisa instan. Mungkin mereka akan merasakan sendiri dulu akibatnya. Misalnya di rumahnya terjadi krisis air, atau airnya tiba-tiba berwarna hijau atau biru, saat itu mereka akan sadar. Kalau belum tersentuh memang agak susah.
Bagi SID sebagai sebuah band yang besar dari hal-hal yang berbau perubahan ini sudah menjadi tanggung jawab sebuah band, to sing about it, to do something about it.


Momen apa yang paling menyentuh melihat kerusakan ekologi Bali?


Banyak sekali, Pantai Serangan, misalnya. Kami beberapa kali konser atau difoto di sana, dan itu salah satu contoh kegagalan pemerintah termasuk masyarakat adat untuk memertahankan daerahnya. Serangan itu efeknya tidak hanya di sana. Karena pantai itu direklamasi, dibentuk, manusia bergaya seolah-olah dia Tuhan begitu, efeknya bedampak seperti pantai di Ketewel. Teman-teman saya yang tinggal di sana mengeluh, sejak reklamasi di Serangan, abrasi makin parah. Dan masyarakat di sana jadi kehilangan mata pencaharian. Dreamland juga. Kita sering di sana, melihat tebing-tebing dipotong, demi apa sih? Demi orang yang punya duit banyak dan mereka mau nambah lagi. What the fuck, man?


Padahal apalagi kurangnya Bali, apa yang tidak ada di sini sekarang.

Dan orang bali sudah berkecukupan, tinggal maintain saja. Kalau kita mencari esensi dari setiap permasalahan ini, ya larinya ke kepentingan orang-orang luar yang serakah, selalu merasa kurang. Saking pintarnya mereka itu bisa membeli kepala-kepala daerah, tokoh-tokoh adat. Dan orang-orang Bali selama ini resistensinya sangat kecil. Kita di sini cuma akan turun jalan kalau sudah tersentuh masalah spiritual, religi. Itu baru kompak. Kalau masalah seperti ini sangat soft.
Saya dengan Bobby dan Eka sering bicarakan msalah-masalah ini, dan SID bukan band anak-anak lagi, harus ada yang kita perjuangkan. Sebuah band harus ada purpose. Dan purpose kita bukan hanya fame, uang, tapi apa yang bisa kita lakukan untuk hal-hal seperti ini. Bali ini rumah kita, kita mau apa lagi. Kalau Bali hancur mau pindah kemana? Jogja?


Karena dari sisi pencapaian, di SID materi sudah cukup dan fame kan sudah didapat?


Menurutmu? Hahaha.
Paling basic sih, kita orang bali kalau melakukan sesuatu dalam konteks musik sudah, kami juga sudah coba membuka jalan bagi band-band Bali lain untuk semakin dikenal, meski di Indonesia memang sulit. Kontribusi kami untuk Bali membuka jalan, memerkenalkan nama Bali di kancah nasional. Hahaha. Kancah, blantika, apa sih.
Sukses bagi kami sekarang ini, bukan lagi untuk dikenal semua orang, tapi apakah kita sukses memertahankan rumah kita. Kita kan selalu merasa minoritas di Indonesia, meski Indonesia ini Bhinneka Tunggal Ika. Secara ekonomi Bali diserang, secara kultur diserang dari segala penjuru dan kita tidak kompak. Kita hanya punya jargon Ajeg Bali, tapi itu sebatas kulit saja. Ajeg Bali itu apa? Harus pakai udeng? Harus rajin ke banjar? Itu bukan Ajeg Bali yang sebenarnya. Itu untuk fungsi sosial aaja, kalau kamu nanti mati ada yang datang. Itu aja ketakutannya, tidak mikir ke hal lain. Kita terlalu nyaman di zona itu.


Padahal ritual ada banyak sekali pemujaan pada ekologi

Menurut saya, ritual itu simbol. Leluhur kita melakukan ritual itu sebagai simbol penghormatan mereka terhadap bumi. Sekarang di saat Bali sudah diserang secara ekologi dan ekonomi, apakah simbol-simbol itu masih relevan? Bukankan tindakan lebih relevan daripada simbol? Saya pernah tweet: untuk apa kita rajin sembahyang, untuk apa kita percaya Tri Hita Karana, kalau kita diam saja tanah kita dirusak, ekologi kita hancur, dan ekonomi kita dikuasai orang asing? Sementara pejabat-pejabat kita, katakanlah Mangku kuasai tanah di sana sini, menguasai ekonomi, masyarakat lemah ditindas. Gila.


Statement ini bisa saja akan mengusik mereka yang di pemerintahan? Siap berdebat dengan mereka.


Siap. Asal tujuan debatnya demi Bali jangka panjang. Tujuan saya kan bukan untuk jadi gubernur, atau jadi orang yang berpengaruh. Cuma keresahan saya sebagai orang Indonesia, orang Bali. Banyak sekali yang membuat saya resah. Perlakuan orang-orang asing terhadap orang Bali yang semakin menurun kualitas rasa hormatnya. Kenapa orang-orang asing, terutama di Kuta, menganggap kita bodoh, budaya mudah dibeli. Karena mentalitas kita itu budak, terbiasa hidup seperti budak. Kalau ada bule ramah, ke sesama orang Bali beda. Kepada pendatang dari Jawa kasar. Apa sih itu kalau bukan mental budak?
Banyak hal-hal yang meresahkan saya. Kalau dulu kan pariwisata lokal itu dengan senyum, masyarakat ramah, dan sekarang keramahan itu makin palsu. Dibuat-buat supaya untuk selamat saja. Padahal kita bisa selamat kalau kita tahu cara bertahan. Tidak perlu ditindas dulu untuk berhasil.


Bisa ceritakan bagaimana pengalaman masa kecil tentang kondisi ekologi Kuta dulu?


Wah banyak sekali, paling signifikan waktu zaman SD di Kuta. Zaman dulu Kuta begitu indah, gang-gangnya masih berpasir. Warung tradisional dimana-mana. Salak bali, pohon kelapa dimana-mana. Hotel-hotel tidak terlalu banyak. Dan yang paling berkesan itu attitude orang asing yang datang ke Bali benar-benar bersahabat. Dan persahabatan mereka dengan orang-orang Bali benar-benar bagus. Mereka surat-suratan. Itu semua didukung lingkungan. Penginapan-penginapan sangat sederhana, dari kayu. Tidak banyak mobil.
Harusnya sekarang itu di Kuta tidak boleh lagi mobil masuk, atau yang boleh masuk hanya sepeda lah. Semua mobil yang mau ke Kuta ke Sentral Parkir. Buat apa itu dibangun Sentral Parkir? Saya pikir dulu tujuannya itu. Sempat ada car free day, dan resistensi terbesarnya itu dari mayarakat lokal. What the fuck? Bukannya berpikir untuk kepentingan yang lebih besar. Kamu nggak mau menyehatkan badanmu sendiri dengan berjalan kaki atau sepeda.


Sebagai anak kecil apa bagian paling menyenangkan di Kuta dulu?


Di sepanjang gang itu seru. Naik sepeda. Gang-gang itu seperti wahana bermain, ada jalan-jalan rahasia. Banyak pohon. Beli es daluman di warung, rujak. Ketemu bule-bule tua yang baik. Karakter bule-bule yang di Kuta dulu agak sama dengan bule-bule yang di Sanur sekarang. Kalau sekarang kan kayak sampah bule-bule di kuta, mereka cuma berpikir semuanya bisa dibeli. Indah banget dulu itu. Waktu kecil punya semacam orang tua angkat, bule-bule tua yang datang tiap tahun, seperti keluarga. Dan bule-bule seperti itu sudah tidak ada lagi di Kuta sekarang. Sekarang mereka ke sini buka bisnis, cari uang.
Ini agak di luar masalah ekologi. Harus diakui orang lokal kalah secara SDM, dijajah secara ekonomi tadi. Orang dari luar Indonesia datang ke Bali buka bisnis dan bisa lebih sukses dari orang Indonesia karena kualitas SDM berbeda. Saya pikir pemerintah harus sadari ini, batasi, jangan sampai kita jadi budak di tanah sendiri. Aneh kan.


Saya pernah menemukan grafiti kecil di Legian isinya: behave stranger, this ain’t your home. Saya khawatir ini bisa menjadi xenophobia?


 Tendensi ke arah sana sudah ada. Karena dua faktor, lokal tidak mengedukasi diri. Dan orang luar ke Bali melihat orang lokal begitu mudah dibeli. Lingkaran setan ini yang lama-lama bisa mengerucut menjadi sebuah permusuhan.
Saya pernah mengirim surat ke Jero Wacik entah dia baca atau tidak. Saya kirim email, juga surat tangan, tentang ini. Saya pikir orang penting di pemerintahan itu tidak pernah turun ke jalan, mereka tidak tahu betapa macetnya Kuta setiap malam, banyak anak kecil mengemis, pencopet, jambret. Mereka tidak pernah tahu bagaimana tiap jam enam pagi anak SD ke sekolah mereka lihat bule mabuk, muntah pinggir jalan, naik motor nggak jelas.
Harus pikirkan efek psikologisnya bagi anak-anak. Ini kan tidak bagus bagi masyarakat lokal. Mereka tidak bisa tumbuh dengan natural, mereka sejak kecil terdidik menjadi manusia dangkal, “hidup itu harus seperti ini ya.” Itu bahaya bagi anak-anak Bali. Makanya anak muda di Kuta jarang ada yang kritis, apatis, mereka merasa semuanya normal. It’s not normal, man. They’re on holiday. Sementara kita yang harusnya punya kehidupan normal.


Ketika hidup di daerah ini, merasakan sebenarnya Denpasar atau Sanur lebih baik?


Saya pindah ke sini untuk terapi, setahun mengasingkan diri dulu dari alkohol dan segala amcam. Masih sering ke Kuta, dan sudah terbiasa ke Kuta tanpa minum. Setelah saya rasakan kehidupan di sini lebih organized. Contohnya sanur kan daerah wisata juga, tapi kenapa Sanur lebih bersih dan tertib. Kenapa Kuta tidak? Menurut saya karena masyarakat lokal. Sudah pasti itu. Kalau orang lokal pintar, tahu cara maintain tempatnya, orang akan segan. Seperti kita ke lapangan atau taman yang bersih, mau buang puntung rokok malu kan. Kuta itu dipandang seperti lapangan yang sudah kotor, jadi orang tidak merasa apa-apa buang sampah.
Resistensi masyarakat Kuta sangat kecil. Saya meski sejak kecil di sana, tapi tidak pernah menjadi bagian dari warga di sana, bagian dari banjar. Saya kan pendatang juga. Agak susah juga untuk bisa ikut memengaruhi keputusan lokal.


Kenapa tidak mencoba masuk dan bicara dengan masyarakat lokal?


Itu tidak bisa dilakukan. Seperti ada batas-batas di desa adat itu, kecuali warga asli. Dan harus bersosialisasi. Saya lebih suka esensi daripada omong-omong kosong. Saya pikir sekarang yang harus diajak bicara dan mendengarkan itu orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mungkin bupati, baru dia bisa mengatur camat, dan dari camat ke desa adat. Seperti car free day itu gagal karena orang lokal, tidak punya upaya memperbaiki tempatnya. Itu program pemerintah saja gagal, apalagi saya yang bicara yang jelas tidak semua orang suka.
Makanya saya sekarang cuma bisa berharap dari SID, bisa pelan-pelan menyuarakan. Kalau genderasi saya sekarang mungkin mereka sudah tidak suka musik. Sekarang anak-anak SMP, SMA yang mulai bikin Outsiders Kuta dan segala macam, mudah-mudahan nanti mereka bisa membuat pengaruh di banjarnya. Itu cara yang yang paling masuk akal untuk mengubah kondisi Kuta.


Ada harapan yang tumbuh melihat fans?


Banyak. Contoh kecil, seperti kemarin kita sering bikin aktivitas membersihkan pantai. Sudah banyajk Outsider Canggu, Sanur atau Nusa Dua mulai bikin kegiatan serupa. Kita kan tidak bisa mengubah mind set seribu orang secara bersamaan. Mungkin dari seribu orang itu ada 5 atau 3 orang yang melakukannya dengan hati dan akan bergulir terus. Orang-orang inilah yang akan membawa perubahan nantinya. Negara kita kan juga merdeka belum lama. It takes time.
Justru fan base SID di jawa yang benar-benar bergerak, lebih kritis, turun ke lapangan lebih sering. Karakter orang di Jawa kan lebih fight, kita di sini lebih laid back. Secara geografis memang begitu. Tapi di Sanur juga laid back, tapi bisa tegas. Kalau Kuta laid back under slavery.
Saya berharap ada pemimpin Bali nanti yang care pada ekologi, pada masalah citra Bali. Memang Bali bukan Kuta saja, tapi pintunya kan di sana, orang masuk ke Bali melewati daerah itu. Sekarang macetnya sudah gawat. Orang asing yang turun dari pesawat keluar dari airport harus melewati Bypass Ngurah Rai yang kalau jam-jam tertentu macetnya kayak setan. Ada rencana bikin jalan layang. Kebanyakan ambisi, tapi fondasinya masih rapuh. Ambisi banyak itu karena motivasi uang, bukan karena ingin melindungi masyarakat lokal.


Ada kemajuan-kemajuan kecil seperti Trans Sarbagita mulai beroperasi. Meski banyak resistensi karena Sarbagita dianggap terlalu memakan banyak badan jalan dan membuat kemacetan.

Idealnya Sarbagita ya memang untuk transportasi publik. Seperti Jakarta punya busway. Memang kondisi jalannya juga harus menyesuaikan. Tapi masalanya untuk skala makro, Bali tidak didesain untuk seperti yang terjadi sekarang. Jadi kita harus memilih Denpasar dan Badung ini akan menjadi sebuah kota metropolitan atau tetap desa? Kalau sekarang kan ada pertempuran apakah memertahankan ini tetap desa atau menjadi metropolitan. Ketimpangan inilah yang akhirnya tidak ketemu, clash dan menjadi masalah. Kalau dari awal maunya metropolitan, ya bangun jalan yang lebar.
Almarhum Ida Bagus Mantra kan sudah jelas idenya seperti apa Bali ini, tetap menjadi desa besar yang bermartabat, bertaksu, yang Bali banget. Kalau yang sekarang maunya jual jual jual. Bali ini seperti gula yang mendunia, semutnya bukan hanya dari Indonesia. Yang kita lawan itu besar sekali. Sementara orang Bali sibuk berkelahi dengan saudaranya sendiri.


Saya khawatir Bali mengalami seperti di masyarakat Betawi yang terpinggirkan di Jakarta. Di sini juga orang terus menjual tanah. Jual tanah buka rental mobil

Hahahaha. Betul, saya mengalami ketakutan seperti itu Ada tulisan saya baca tentang seorang petani yang tadinya kaya raya di daerah Jimbaran. Tanahnya dijual, dan sekarang menjadi miskin, balik lagi jadi buruh tani. Dan itu umumnya pengaruh anak, minta ini-itu. Kebanggaan-kebanggan semu di desa masih seperti itu. “Wah dia punya motor baru, punya mobil baru.” Bangga. Begitu saja. Bisa traktir teman-temannya di cafĂ©, bangga. Karena faktor pendidikan ya, tidak biasa berpikir panjang.
Di keluarga saya sendiri banyak seperti itu. Jual tanah dengan mudahnya, padahal bisa dikontrakkan, dan banyak yang mau. Kenapa dijual? Bisa mirip Betawi ya. Dibutakan oleh bagaimana caranya menaikkan status sosial di kalangannya, biar kelihatan lebih hebat dari tetangga. Penting sekali buat mereka.
Sekarang orang-orang lokal yang jadi susah beli tanah. Tidak terjangkau,. Harganya internasional. Kalau terus-terusan begini, kita stay di satu titik, sementara mereka mengusai tempat lain. Kita makin kecil dan terkepung, sudah lah jadi pegawai saja di hotel.